Kain tenun lurik telah dikenal
masyarakat Indonesia sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu.
Sayangnya mayoritas masyarakat Indonesia banyak yang sudah tidak
mengenal lagi kain tenun peninggalan budaya dari nenek moyang itu.
Kain tenun tradisional asli Indonesia
kini sudah hampir lenyap dari peredaran. Tidak banyak toko kain dan
busana di Tanah Air yang mau menjual produk kain tenun tersebut. Bahkan,
kini nyaris tidak ada lagi anggota masyarakat yang mau mengenakan
pakaian dari kain tenun lurik, baik untuk pakaian pesta, jamuan resmi
atau bahkan untuk pakaian sehari-hari.
Adalah Kenji Yamada,
seorang warga negara Jepang yang telah menetap di Indonesia selama lebih
dari 5 tahun merasa terpanggil untuk membangkitkan kembali kain tenun
lurik di Indonesia. Secara kebetulan, Kenji yang selama ini menaruh
minat dan perhatian pada kain tenun lurik menemukan beberapa kesamaan
antara kain tenun lurik Indonesia dan kain tenun lurik Jepang.
Bedanya satu, di Jepang kain tenun lurik
berkembang menjadi produk kain tenun bernilai tinggi. Masyarakat Jepang
bangga menggunakan pakaian dari kain tenun lurik apabila pergi ke pesta
pernikahan atau jamuan resmi.
Ketertarikan Kenji terhadap kain tenun
lurik dan batik Indonesia muncul ketika tahun 2000 lalu Kenji sering
melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Tanah Air. Dalam lawatannya
itu, Kenji melihat beberapa sentra kerajinan kain tenun lurik seperti di
Yogyakarta dan Klaten.
Dengan tujuan mengembangkan kain tenun
lurik Indonesia, pada tahun 2006 Kenji membangun bengkel kerja yang
diberinya nama Bekel. Melalui bengkel kerja yang berlokasi di Depok,
Jawa Barat Kenji membuat berbagai pakaian khas Jepang seperti Jimbei
(pakaian kimono pendek untuk pria) dan Rong Rong (pakaian kimono pendek
untuk wanita) dari kain tenun lurik yang diberinya merek dagang Bekel.
Kenji yang sebelumnya bekerja sebagai
analis di perusahaan komputer terkemuka di Jepang NEC, merasa terpanggil
menerjuni usaha pengembangan kain tenun lurik Indonesia. Ketertarikan
itu didasarkan setelah menyaksikan kenyataan bahwa kain tenun lurik
Indonesia cenderung makin ditinggalkan masyarakat. Bahkan, dapat
dikatakan budaya kerajinan membuat kain tenun lurik di Indonesia kini
sedang menuju ke kepunahan.
Didasari semangat dan panggilan jiwa
tersebut, Kenji membuka bengkel kerja untuk membuat berbagai model
pakaian khas Jepang dengan bahan dari kain tenun lurik. Sementara ini,
Kenji sendiri yang mendesain pakaian khas Jepang, Jimbei dan Rong Rong.
Selama hampir satu tahun ini Kenji telah berhasil menciptakan lebih dari
1.000 pakaian Jimbei dan Rong Rong dari bahan kain tenun lurik.
Untuk memperkenalkan karya mode pakaian
Jimbei dan Rong Rong-nya kepada masyarakat, Kenji mengikuti berbagai
pameran tekstil dan kerajinan di dalam negeri. Melalui pameran-pameran
tersebut, Kenji berhasil menggugah minat masyarakat untuk menggunakan
kain tenun lurik. Hal itu terbukti dengan terjualnya beberapa pakaian
Jimbei dan Ring Rong.
Kegiatan penjualan pakaian Jimbei maupun
Rong Rong dari kain tenun lurik baru sebatas melalui pameran.
Keterbatasan modal, bahan baku, dan sumber daya manusia serta
keterbatasan kemampuan produksi menjadi pemicunya.
Untuk pembuatan pakaian model Jepang
itu, Kenji menggunakan pasokan bahan baku kain tenun lurik dari para
perajin kain tenun lurik dari Yogyakarta dan Pedan (Klaten), Jawa
Tengah. Kain tenun lurik yang diproduksi para perajin di kedua wilayah
tersebut biasanya terbuat dari benang katun dan pembuatannya biasanya
menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Para pembeli pakaian Jimbei dan Rong
Rong berasal dari kalangan menengah ke atas mayarakat Indonesia. Namun
ada juga pembeli dari luar negeri khususnya dari Jepang. Sementara
beberapa pembeli dari Eropa, seperti Austria membeli pakaian Jimbei
karya Kenji Yamada tidak untuk dipakai sebagai busana melainkan
dipergunakan sebagai penghias ruangan atau sebagai hiasan dinding.
Karena itu, pembeli tersebut membeli Jimbei lengkap dengan gantungan
pakaiannya yang terbuat dari kayu.
Menurut Kenji, kain tenun lurik memiliki
motif yang sangat khas, yaitu motif garis-garis melintang dan membujur
dengan warna yang beraneka macam. Motif kain tenun lurik muncul dari
benang berwana yang ditenun melalui ATBM. Jadi, pewarnaan dilakukan
sebelum benang itu ditenun. Dengan demikian motif warna itu muncul dari
susunan jalinan benang setelah proses penenunan, tambah Kenji.
Pakaian khas Jepang dengan bahan kain
tenun lurik karya Kenji dijual dengan harga yang bervariasi. Pakaian
Jimbei rata-rata dijual dengan harga sekitar Rp300.000 per potong
sedangkan pakaian Rong Rong dijual dengan harga Rp275.000 per potong.
Jimbei dijual dengan harga lebih mahal karena pembuatannya membutuhkan
lebih banyak kain tenun lurik dari pada pakaian Rong Rong. (Dim)
0 comments:
Post a Comment