Thursday, November 8, 2012

Kain tenun lurik telah dikenal masyarakat Indonesia sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Sayangnya mayoritas masyarakat Indonesia banyak yang sudah tidak mengenal lagi kain tenun peninggalan budaya dari nenek moyang itu.

Kain tenun tradisional asli Indonesia kini sudah hampir lenyap dari peredaran. Tidak banyak toko kain dan busana di Tanah Air yang mau menjual produk kain tenun tersebut. Bahkan, kini nyaris tidak ada lagi anggota masyarakat yang mau mengenakan pakaian dari kain tenun lurik, baik untuk pakaian pesta, jamuan resmi atau bahkan untuk pakaian sehari-hari.

Adalah Kenji Yamada, seorang warga negara Jepang yang telah menetap di Indonesia selama lebih dari 5 tahun merasa terpanggil untuk membangkitkan kembali kain tenun lurik di Indonesia. Secara kebetulan, Kenji yang selama ini menaruh minat dan perhatian pada kain tenun lurik menemukan beberapa kesamaan antara kain tenun lurik Indonesia dan kain tenun lurik Jepang.

Bedanya satu, di Jepang kain tenun lurik berkembang menjadi produk kain tenun bernilai tinggi. Masyarakat Jepang bangga menggunakan pakaian dari kain tenun lurik apabila pergi ke pesta pernikahan atau jamuan resmi.

Ketertarikan Kenji terhadap kain tenun lurik dan batik Indonesia muncul ketika tahun 2000 lalu Kenji sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Tanah Air. Dalam lawatannya itu, Kenji melihat beberapa sentra kerajinan kain tenun lurik seperti di Yogyakarta dan Klaten.

Dengan tujuan mengembangkan kain tenun lurik Indonesia, pada tahun 2006 Kenji membangun bengkel kerja yang diberinya nama Bekel. Melalui bengkel kerja yang berlokasi di Depok, Jawa Barat Kenji membuat berbagai pakaian khas Jepang seperti Jimbei (pakaian kimono pendek untuk pria) dan Rong Rong (pakaian kimono pendek untuk wanita) dari kain tenun lurik yang diberinya merek dagang Bekel.

Kenji yang sebelumnya bekerja sebagai analis di perusahaan komputer terkemuka di Jepang NEC, merasa terpanggil menerjuni usaha pengembangan kain tenun lurik Indonesia. Ketertarikan itu didasarkan setelah menyaksikan kenyataan bahwa kain tenun lurik Indonesia cenderung makin ditinggalkan masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan  budaya kerajinan membuat kain tenun lurik di Indonesia kini sedang menuju ke kepunahan.

Didasari semangat dan panggilan jiwa tersebut, Kenji membuka bengkel kerja untuk membuat berbagai model pakaian khas Jepang dengan bahan dari kain tenun lurik. Sementara ini, Kenji sendiri yang mendesain pakaian khas Jepang, Jimbei dan Rong Rong. Selama hampir satu tahun ini Kenji telah berhasil menciptakan lebih dari 1.000  pakaian Jimbei dan Rong Rong dari bahan kain tenun lurik.

Untuk memperkenalkan karya mode pakaian Jimbei dan Rong Rong-nya kepada masyarakat, Kenji mengikuti berbagai pameran tekstil dan kerajinan di dalam negeri. Melalui pameran-pameran tersebut, Kenji berhasil menggugah minat masyarakat untuk menggunakan kain tenun lurik. Hal itu terbukti dengan terjualnya beberapa pakaian Jimbei dan Ring Rong.

Kegiatan penjualan pakaian Jimbei maupun Rong Rong dari kain tenun lurik baru sebatas melalui pameran. Keterbatasan modal, bahan baku, dan sumber daya manusia serta keterbatasan kemampuan produksi menjadi pemicunya.

Untuk pembuatan pakaian model Jepang itu, Kenji  menggunakan pasokan bahan baku kain tenun lurik dari para perajin kain tenun lurik dari Yogyakarta dan Pedan (Klaten), Jawa Tengah. Kain tenun lurik yang diproduksi para perajin di kedua wilayah tersebut biasanya terbuat dari benang katun dan pembuatannya biasanya menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).

Para pembeli pakaian Jimbei dan Rong Rong berasal dari kalangan menengah ke atas mayarakat Indonesia. Namun ada juga pembeli dari luar negeri khususnya dari Jepang.  Sementara beberapa pembeli dari Eropa, seperti Austria membeli pakaian Jimbei karya Kenji Yamada tidak untuk dipakai sebagai busana melainkan dipergunakan sebagai penghias ruangan atau sebagai hiasan dinding. Karena itu, pembeli tersebut membeli Jimbei lengkap dengan gantungan pakaiannya yang terbuat dari kayu.

Menurut Kenji, kain tenun lurik memiliki motif yang sangat khas, yaitu motif garis-garis melintang dan membujur dengan warna yang beraneka macam. Motif kain tenun lurik muncul dari benang berwana yang ditenun melalui ATBM. Jadi, pewarnaan dilakukan sebelum benang itu ditenun. Dengan demikian motif warna itu muncul dari susunan jalinan benang setelah proses penenunan, tambah Kenji.

Pakaian khas Jepang dengan bahan kain tenun lurik karya Kenji dijual dengan harga yang bervariasi. Pakaian Jimbei rata-rata dijual dengan harga sekitar Rp300.000 per potong sedangkan pakaian Rong Rong dijual dengan harga Rp275.000 per potong. Jimbei dijual dengan harga lebih mahal karena pembuatannya membutuhkan lebih banyak kain tenun lurik dari pada pakaian Rong Rong. (Dim)

0 comments:

Post a Comment